Oleh:
Rusdianto Sudirman, S.H, M.H.
(Pengamat dan Pengajar Hukum
Tata Negara IAIN Parepare)
OPINI---Persoalan mahar politik telah membudaya di lingkaran partai politik (parpol), terutama jelang pencalonan baik dalam ajang pilkada maupun pemilu. Politik transaksional yang berujung permintaan uang terhadap kandidat yang diusung, memicu terjadinya praktik korupsi karena harus mencari (mengembalikan) mahar politik kepada para pengusaha penyandang dana. Bentuk-bentuk pengembaliannya bisa beragam, mulai dari bagi-bagi proyek yang didanai APBD sampai gratifikasi pengurusan izin usaha yang pada akhirnya berujung korupsi.
Selama ini, pemberantasan korupsi di Indonesia terlalu didominasi perspektif hukum dan administrasi. Padahal dalam banyak kasus, ditemukan ada relasi antara tindakan korupsi dengan aspek politik, terutama partai politik sebagai institusi penting dalam sistem politik yang demokratis.
Perlu dipahami, perspektif hukum sudah tidak cukup untuk memberantas korupsi sebab kejahatan itu selalu berhubungan dengan modal yang masuk dan terintegrasi ke institusi penyelenggaraan negara secara massif sehingga pembahasan tentang korupsi juga harus melihat keterkaitannya dengan aspek politik, seperti demokrasi, dan kelembagaan partai politik.
Indonesia menganut sistem demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Rakyat yang membentuk pemerintahan, ikut menyelenggarakan pemerintahan dan menjadi tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat yang demikian itulah disebut dengan sistem demokrasi. Itu sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang- undang dasar.
Untuk menjalankan mekanisme demokrasi, dalam konstitusi diatur tentang pelaksanaan pemilu. Pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali merupakan mekanisme sirkulasi elit baik itu di eksekutif maupun legislatif, sekaligus juga menjadi ukuran apakah negara itu telah demokratis atau tidak. Di dalam proses penyelenggaraan pemilu menghadirkan parpol sebagai pilar utama demokrasi.
Keberadaan parpol penting karena...
Keberadaan parpol penting karena demokrasi mensyaratkan wewenang warga untuk memerintah dan menjadi bagian dari hak warga berpartisipasi menentukan kebijakan publik dan pemimpinnya. Fungsi penting parpol dalam demokrasi, antara lain: penyerapan aspirasi dan kebutuhan rakyat, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik.
Sejatinya tujuan sebuah partai poltik adalah selain
rekrutmen politik dan pendidikan politik kepada rakyat, tujuan utamanya untuk
meraih kekuasaan. Selama berkuasa mereka harus mempersiapkan kader-kader terbaik untuk
diusung di setiap daerah baik itu Gubernur, Bupati ataupun Walikota demi
kelancaran sistem penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi sekarang ini partai
politik sepertinya tidak melakukan kaderisasi sehingga mereka tidak
mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk diusung dalam pilkada serentak
mendatang. Harusnya jika yang diusung adalah kader sendiri maka yang menanggung
segala beban keuangan pencalonan adalah partai politik. Karena yang akan
diperjuangkan adalah ideologi dan visi misi partai, tapi yang terjadi sekarang
justru sebaliknya.
Oleh karena itu, perlu ada upaya penindakan terhadap orang atau pihak yang terbukti melakukan politik transaksional. Kendati demikian, penulis mengakui, siapa lembaga yang berwenang menindak persoalan mahar politik belum diatur secara spesifik. Apalagi dalam praktiknya mahar politik susah dibuktikan meskipun aroma baunya menyengat kemana-mana. Meskipun begitu setidaknya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa memberi peringatan terhadap partai atau oknum yang melakukan hal tersebut sebagai upaya pencegahan. Caranya, bisa memberikan informasi kepada publik agar memutuskan tidak memilih partai atau calon yang diduga menyerahkan mahar kepada partai. Bahkan, jika partai politik terbukti menerima mahar dalam jumlah tertentu yang sudah diberikan batasan oleh undang-undang, maka pemerintah dapat mengajukan pembubaran partai politik tersebut ke mahkamah konstitusi.
Jadi, menurut hemat penulis yang harus dibenahi...
Jadi,
menurut hemat penulis yang harus dibenahi terlebih dulu adalah instusionalisasi
partai politik. Setiap partai politik harus bisa menciptakan kesamaan kehendak
dan cita-cita bersama untuk menyusun suatu konsep kenegaraan yang bermuara pada
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Konsep kenegaraan itulah yang harus
disosialisasikan dan dikomunikasikan setiap partai politik kepada masyarakat
dalam pemilihan umum dan secara tidak langsung rakyat sebagai pemegang
kedaulatan akan bisa memilih partai politik mana yang bisa memperjuangkan
kepentingan mereka. Rekrutmen dan Kaderisasi partai politik harus diperketat melalui
paksaan undang-undang.
Untuk menjamin rekrutmen dan kaderisasi partai politik regenerasi, sebaiknya ada
pengaturan mengenai persyaratan menjadi pengurus pada tingkat atas pengalaman
minimal 5 tahun sebagai pengurus pada tingkat bawahan. Jika struktur
kepengurusan partai politik terdiri atas 4 tingkat, maka seorang calon Ketua
Umum dipersyaratkan minimal sudah 20 tahun menjadi pengurus partai politik yang
bersangkutan. Dengan demikian pembinaan partai politik dalam jangka panjang
akan tumbuh dan berkembang secara sehat, terhindar dari ‘kutu-loncat’ yang
menumbuhsuburkan budaya politik transaksional dan pragmatis
Dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia peranan partai politik sangat strategis dalam
pemerintahan, karena secara konstitusional di dalam UUD NRI 1945 hanya partai
politik yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan
Anggota DPR/DPRD dalam pemilu. Bahkan dalam pencalonan kepala daerah,
setiap pasangan calon harus mendapatkan rekomendasi dukungan dari Partai
Politik. Sehingga sejatinya jika Presiden, Anggota DPR/DPRD, dan kepala daerah
terpilih berasal dari partai politik yang sama, atau setidaknya berasal dari
koalisi partai politik yang mempunyai ideologi yang sama, maka seharusnya
pemerintahan dapat berjalan secara baik dan lancar tanpa adanya kegaduhan
politik.
Tumbuh suburnya praktik korupsi sangat berkorelasi dengan mahalnya biaya politik dalam setiap kontestasi pilkada. Sehingga sistem demokrasi yang sifatnya transaksional pada akhirnya mengarah pada pemerintahan yang pragmatis. Untuk itu pemerintah dan DPR harus kembali merumuskan regulasi yang dapat memberikan penguatan instusionalisasi partai politik yang mengarah pada penguatan sistem demokrasi.
Editor: Mifda Hilmiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar