Oleh : Riecardy (Presiden Mahasiswa IAIN Parepare)
OPINI --- Kita pastikan bahwa dinamika Covid-19 adalah problematika yang tidak bisa kita hindari atau dengan istilah force majeure. China merupakan negara yang sangat strategis dan menjadi sorotan besar ketika ada kebijakan ekonomi yang muncul akibat mewabahnya virus Covid-19.
Dalam penanggulangan bencana, pemerintahan China mesti kita apresiasi dalam sekejap mampu membangun rumah sakit khusus pasien Covid-19 dengan fasilitas yang memadai sekaligus dapat menampung ribuan pasien yang terinfeksi.
Kebijakan pemerintah dan kesadaran masyarakat akan bahaya Covid-19 mesti ditanggulangi secara kolaboratif. Untuk memberantas Covid-19 ini, Pemerintah China melakukan lockdown di area Wuhan demi antisipasi tersebarnya virus. Peran aparat negara, keahlian para medis, fasilitas yang memadai sangatlah menentukan penanggulangan ini.
Reaksi pemerintahan China dalam melakukan tindakan preventif, bukan hanya didasari dengan kepentingan sosial masyarakat melainkan bagaimana pemerintahan China mempertimbangan dampak global yang kemungkinan terjadi dalam kebijakannya yang mungkin akan mempengaruhi kontrak dagang dengan negara-negara dan mencegah kontraksi hubungan Internasional.
Di sisi lain China merupakan negara yang akan menduduki puncak ekonomi dunia harus siap menerima sematan-sematan konspiratif dengan negara saingan seperti AS, yang selalu digadang-gadang sedang mengalami masa persaingan dagang internasional yang begitu kuat akhir-akhir ini.
Kalau kita ingin melihat pergulatan ekonomi China-AS dalam sorotan ekonomi ternyata lebih banyak bersiteru di wilayah ekspor-impor. China sebagai negara eksportir terbesar tetap berhati-hati dalam membuat langkah sepihak dengan AS, begitu juga sebaliknya Amerika Serikat ke China. Perang dagang AS-China mencuat ketika Amerika Serikat menetapkan tarif masuk terhadap produk impor dari China dan China tidak tinggal diam. China merespons dengan ikut menetapkan tarif masuk terhadap lebih dari 128 Produk Amerika Serikat, termasuk komoditas ekspor utama kedelai Amerika Serikat ke Tiongkok.
Perkembangan mengenai formulasi anti-virus saat ini dikabarkan AS, Jerman, Israel sedang mempersiapkan antivirus yang kemungkinan akan dipasarkan di negara-negara yang terpapar Covid-19. Walaupun beberapa pekan yang lalu terjadi perseteruan presiden AS Donal Trump yang dikabarkan berusaha menggelontorkan dana yang begitu fantastik guna memonopoli vaksin dengan membeli hak paten anti-virus dari perusahaan biotegnologi Jerman, CureVac. Di tengah polemik Covid-19 kejadian situasional itu tak terelakkan.
Pertarungan perusahaan farmasi internasional semakin memperlihatkan eksistensinya. Perusahaan tersebut berlomba-lomba menciptakan produk penangkal Covid-19. Negara-negara besar dengan perusahaan biotegnologinya saat ini melakukan pengujian kliniks secara intensif demi menghadirkan anti-virus yang nantinya akan dipasarkan diberbagai negara. Dan publik harus mencatat bahwa Indonesia juga mempunyai sosok ahli yang sering berbicara tentang penanggulan virus di Indonesia.
Beliau adalah Prof Chairul Anwar Nidom... (next page 2)
Beliau adalah Prof Chairul Anwar Nidom seorang dosen Universitas Airlangga Surabaya yang beberapa tahun silam menemukan formula (ramuan) terhadap virus flu burung. Selaku ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF) dikabarkan saat ini sedang menyiapkan vaksin virus corona dengan teknologi Knock Out (KO). Niddom membagi Virus Corona dengan 2 tingkat yaitu Low Pathagenic; virus ringan, tidak terlalu ganas dan masih berada disaluran atas dan high pathogenic; respektornya berada di paru-paru dengan dampak fatal.
Kemudian kita kembali mempertanyakan dengan tegas posisi Indonesia dalam pertarungan dagang internasional, sejauh manakah peran dan keterlibatan Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam, mineral baik darat maupun laut yang melimpah tentu memiliki senteran berbeda dari setiap negara-negara sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan ekonomi. Sebagai negara yang diprediksi akan mendapat bonus demografi mesti mengambil langkah srategis untuk melihat tantangan dan peluang ke depan akibat apa yang terjadi di China.
Kalau kita ingin melihat sejauh mana hubungan dagang Indonesia dengan China maka kita terlebih dahulu melihat dalam sejarah. Seperti yang dikemukakan oleh Geografer China kuno yang menyebut Indonesia sebagai nanyang artinya negara penghasil rempa-rempa dan barang langka eksotis seperti gading, cula badak, kulit harimau, tulang.
Sementara sutra yang halus dan keramik dari China dicari oleh kerajaan kuno Indonesia. Di situ kita melihat betapa hubungan dagang Indonesia dengan China telah ada jauh sebelum sistem perdagangan internasional itu dibesar-besarkan. Indonesia dengan China saat ini telah banyak melakukan ekspedisi diberbagai sektor dengan tujuan peningkatan pendapatan ekonomi.
Pandemik Covid-19 di Wuhan dan dampak ekonomi di Indonesia sangat jelas terlihat diberbagai sektor. Sektor yang paling berpengaruh di Indonesia tidak dipungkiri lagi adalah Industri Pariwisata. Melihat data pengunjung pariwisata Indonesia kebanyakan dari masyarakat Tionghoa.
Data BPS 2019 mencatat 12,86% konstribusi turis Tiongkok dari 16,11 juta kunjungan turis asing ke Indonesia. Naik 1,88 persen dibanding dengan jumlah kunjungan wisman periode yang sama tahun 2018 dengan jumlah 15,81 juta kunjungan wisman. Indonesia akan mengalami kemerosotan total pemasukan devisa di bagian pariwisata akibat Covid-19 apabila melakukan penutupan akses penerbangan internasional dan domestik dari dan menuju China dan negara-negara yang kena dampak fatal Covid-19.
Wishnutama Kusubandio selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengatakan Indonesia berpotensi kehilangan devisa US$ 4 Miliar atau setara Rp 54,8 Triliun bila rute penerbangan dari dan menuju Tiongkok ditutup selama setahun. Jumlah devisa tersebut dari 2 juta turis asal tiongkok dalam setahun dengan rata-rata pengeluaran US$ 1.400 per kunjungan.
Pupulasi penduduk China yang mencapai Rp1,4 miliar bahkan menduduki puncak negara dengan populasi terbanyak di dunia dan Indonesia berada di posisi ke-4.
Dilihat dari data perjalanan internasional UNWTO bahwa 10% dari total masyarakat Tionghoa melakukan perjalanan Internasional dan tentu Indonesia adalah salah satu lokasi destinasi pilihan masyarakat Tionghoa. Wajar saja bila UNWTO pada tahun 2018 melansir bahwa Tiongkok sebagai negara dengan pengeluaran pariwisata internasional terbesar yaitu US$ 277 atau setara dengan Rp4.155 triliun sekaligus menjadi eksportir turis terbesar.
Pengeluaran Tiongkok telah melampui AS dengan total yang tercatat US$ 144 Miliar atau sekitar Rp2.160 triliun dan disusul oleh Jerman dengan pengeluaran yang tercatat US$ 94 Miliar, Inggris dengan US$ 76 Miliar.
Pemerintah Indonesia dalam melakukan kebijakan ekonominya haruslah membaca peluang dan tantangan yang akan terjadi serta efek berantai yang ditimbulkan. Bukan hanya dampak internal melainkan dampak global kepada negara-negara yang memiliki afiliasi ekonomi dengan Indonesia khususnya Indonesia dengan China.
Efek domino yang ditimbulkan dalam Industri Pariwisata ternyata menjalar ke berbagai sektor penunjang pariwisata seperti perhotelan, restoran, usaha retail. Padahal sektor pariwisata merupakan ladang bisnis yang memiliki pemasukan pasar yang begitu masif dan menjadi sasaran para investor Indonesia bahkan investor asing. Bali contohnya adalah lokasi wisata paling dominan menjadi perhatian wisatawan asing dunia dari berbagai negara mendapatkan dampak besar akibat pandemik ini. Beragam dampak yang terjadi seperti anjloknya okupansi hotel, turunnya omset retail, dan berkurangnya kunjungan konsumen asing ke UMKN untuk belanja keperluan destinasi.
Selanjutnya kita lihat secara terbuka disektor perdagangan ekspor-impor Indonesia dengan China. Defisit perdagangan Internasional Indonesia dengan China memiliki korelasi dampak signifikan dan berpotensi terjadi penurunan drastis apabila Indonesia tidak menjalin komunikasi dan hubungan secara diplomatik dengan China di saat mewabahnya Covid-19 di Wuhan.
Kekhawatiran Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah sesuatu yang pasti dan patut direnungkan oleh pemerintah bahwa Indonesia harus senantiasa memperlihatkan status kemitraannya untuk menghindari kontraksi dagang dan sentimen ekonomi yang mungkin akan terjadi antara Indonesia dengan China akibat pandemi ini. BPS mencatat terjadi penurunan ekspor non-migas sebanyak 9,15% pada Januari 2020 diantaranya komoditas lemak, minyak hewan nabati, bijih, terak dan abu logam. Begitu juga dengan komoditas impor yang mengalami penurunan hal serupa seperti impor mesin, besi, baja, dan buah-buahan. Indonesia menempatkan China sebagai mitra dagang ekspor non-migas terbesar dengan angka mencapai USD 13,12 Miliar. Maka sepantasnya Indonesia dalam melihat China bukan hanya didasarkan pada problematika yang terjadi akhir-akhir ini. Melainkan sebagai mitra dagang internasional yang memiliki konstribusi besar dan power terhadap ekonomi di Indonesia beberapa tahun akan datang. (*)
Mantul pak pres
BalasHapus