Oleh : La Ode Arwah Rahman, Pengajar di IAIN Parepare
OPINI --- Covid-19 atau virus Corona tak hanya mengguncang rasa kemanusian kita, tetapi juga memunculkan kembali atmosfir khazanah perdebatan di langit pemikiran teologi Islam, perihal sejauh mana sebenarnya peran Tuhan pada semua hal yang terjadi pada diri manusia dalam perjalanan kehidupannya di dunia.
Pembelaan-pembelaan kita, dan juga argumentasi yang dibangun dan disampaikan mereka yang tetap menginginkan shalat berjamaah dan shalat jumat di masjid pekan lalu, di tengah wabah Corona yang berkecamuk, tanpa sadar telah mendekatkan diri kita pada sebuah pemikiran dan perdebatan teologi dalam peradaban Islam yang pernah hidup maupun yang masih bertahan hingga kini, diantaranya Khawarij, Murjiah, Mu'tazilah, Ahlussunnah dan Jama'ah, serta Jabariah dan Qadariah.
Beragam aliran teologi tersebut seperti kembali memasuki sisi-sisi terdalam wilayah keyakinan umat Islam, utamanya pasca keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengimbau penundaan sementara kegiatan shalat berjamaah dan shalat jumat di masjid. Keputusan ini ditanggapi beragam, melahirkan perdebatan di media sosial dan ruang-ruang publik, serta menyentuh wilayah paling dasar dalam beragama, yakni teologi.
Jika diperhatikan, tidak ada satu pun umat Islam saat ini sungguh-sungguh menganut sebuah teologi secara mentah. Pun, pada semua teologi yang ada dalam perjalanannya juga mengalami dinamika dan perkembangan, yang melahirkan beragam pemahaman pada tingkat awam, utamanya ketika umat dihadapkan pada pertanyaan mendasar sejauh mana Tuhan mengatur skenario (takdir) kehidupan manusia di dunia.
Apakah Tuhan sepenuhnya menentukan seluruh perjalanan dan gerak-gerik kehidupan manusia, ataukah manusia memiliki peran dan peluang untuk mengubah takdir yang telah ditentukan untuk dirinya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kerap muncul dalam benak seorang muslim, termasuk dalam menghadapi wabah virus Corona saat ini.
Jabariah dan Qadariah
Tentu, bagi kaum Jabariah yang berideologi fatalis, mereka memandang semua hal yang terjadi pada diri manusia tidak ada sebab sama sekali dari manusia. Karena itu, kata kaum neo Jabariah, tak perlu takut Corona. Toh, seperti apa model dan takdir kematianmu telah ditulis di lauh mahfuzh jauh sebelum semesta dicipta.
Bagi mereka, semua persoalan Tuhanlah yang menjadi penyebab. Termasuk misalnya ketika seseorang yang tidak pintar berenang, namun memaksakan diri terjun ke kolam renang, lalu tenggelam dan meninggal.
Berbeda Jabariah, dalam konteks infeksi wabah Corona, kaum Qadariah melihat Tuhan memberikan ruang kebebasan dan kekuatan (qudrah) kepada manusia untuk tidak terinfeksi, melalui ikhtiar dan upaya manusia itu sendiri. Jika kemudian ada manusia terinfeksi, itu bukan disebabkan Tuhan menghendaki demikian, tetapi lebih pada ketidakhati-hatian manusia itu sendiri.
Salah satu argumentasi yang diajukan kaum Qadariah adalah firman Allah SWT yang terkenal dalam surat Ar-Rad:11 bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Sementara ayat-ayat yang diajukan kaum Jabariah sebagai argumentasi ajaran teologi mereka, diantaranya QS: As-Saffat : 96 (Padahal Allah-lah yang telah menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu).
Bagi Jabariah ekstrem yang dipopulerkan oleh Jahm Ibn Safwan, manusia tidak memiliki daya kekuatan untuk berbuat apa-apa terhadap skenario kehidupannya di dunia. Semua telah digariskan dan ditentukan. Tidak ada pilihan, manusia tinggal menjalaninya dengan suka rela.
Dalam pandangan faham ini jika seseorang terinfeksi Corona, itu karena memang telah digariskan oleh Tuhan seperti itu, dan bukan karena orang itu tidak waspada, tidak menghiraukan imbauan pemerintah atau karena tidak memakai masker, tapi semata karena Tuhan telah mentakdirkan dia mati karena corona. Jadi tak perlu takut dan khawatir kata mereka. Takdirmu telah ditentukan jauh sebelum wabah ini menyerang bumi.
Sekte lain dalam faham Jabariah dibawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al-Najjar yang sedikit moderat, mengatakan bahwa benar Tuhan-lah yang menentukan seluruh skenario perjalanan kehidupan manusia di dunia, tapi sebatas menciptakan. Terwujud tidaknya skenario itu ditentukan oleh daya dan tenaga (kasb) yang ada dalam diri manusia.
Dalam faham Jabariah terakhir... (next page 2)
Dalam faham Jabariah terakhir, sebagaimana ditulis Prof Dr Harun Nasution (Teologi Islam, 2011), manusia tidak lagi hanya dilihat sebagai wayang yang digerakkan Tuhan untuk menjalani seluruh takdir yang telah digariskan, tetapi memiliki peluang untuk mewujudkan atau tidak mewujudkan perbuatan-perbuatan yang telah digariskan itu.
Faham ini dalam beberapa catatan kemudian ‘diadopsi’ oleh Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim al-Baqillani, pengikut terkenal Abu al-Hasan al-Asy’ari, salah satu pendiri faham Ahli Sunnah dan Jamaah yang mengajarkan aliran al-Asy’ariyah.
Faham al-Najjar pada dasarnya merupakan jalan tengah dalam peseteruan faham antara Jahm (Jabariah Ekstrem) dengan kaum Qadariah yang mengembor-ngemborkan ajaran free will atau kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya tanpa campur tangan Tuhan.
Terlepas dari perdebatan Qadariah dan Jabariah di atas, dalam konteks penanganan virus Corona saat ini, maka semestinya masyarakat memahami bahwa penanganan wabah ini tidak cukup hanya dengan doa dan berpasrah diri (tawakal), tetapi harus ada upaya sungguh-sungguh yang dilakukan untuk menghindari wabah mematikan ini.
Seyogyanya tidak ada lagi kalimat-kalimat yang keluar bahwa mereka hanya takut kepada Allah dan tidak takut Corona. Manusia tak hanya diberi takdir (skenario hidup), tetapi juga akal dan daya dalam menjalani kehidupannya di dunia.
Menghadapi Corona kita tak cukup berpangku tangan menunggu takdir baik buruk, tetapi harus ada ikhtiar. Salah satu ikhtiar dimaksud, ikuti anjuran pemerintah terkait social distancing, menggunakan masker, memakai hand sanitizer, tidak jabat tangan dan lain sebagainya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar